السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Alhamdulillah, menu saat ini dapat di akses walaupun ada beberapa menu yang tidak dapat di akses. Syukron, atas kunjungan sahabat. Weblog kami dalam tahap penyempurnaan. (10-11-11)
بارك الله فيك
-Div. Syiar Media | KomDa FSH-
SO7 (Syiar On 7ihad)

Kekecewaan Yang Salah

Oleh: sumber : Obrolan seorang sahabat dan majalah Al Izzah

“Akhi, dulu ana merasa semangat saat ak-tif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya se-makin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat tenyata ikh-wah banyak pula yang a-neh aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murobbinya disu-atu malam. Sang muro-bbi hanya terdiam, mencoba terus menggali se-mua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin an-tum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murobbi setelah sesaat termenung. “Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku ikh-wah yang justru tidak islami. Juga dengan organ-isasi dakwah ana geluti kaku dan sering memati-kan potensi anggota-anggotanya. Bila begini te-rus, ana mendingan sendiri saja..” jawab mad’u itu. Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?”, tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui ki-asan yang amat tepat.


“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?”, sang murobbi mencoba memberi opsi.
“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotor-an manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila I-kan hiu datang?
Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana an-tum mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan dihadapan sang mad’u.

Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegun-dahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihor-matinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. “Akhi, apa-kah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ri-dho Allah?” pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad’u. ia hanya mengangguk.

Sang mad’u tetap terdiam dalam sesugukkan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia meng-angkat tangannya; “Cukup Akhi,Cukup. Ana sadar. Maafkan ana… Ana akan tetap istiqo-mah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana di PERHATIKAN… .”

“Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janjiNya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murobbi yang semakin dihormatinya.
Sang murobbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka ada-lah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut se-ruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.” Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah Ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”

“Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka ka-pankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar. “Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding se-buah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da-’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masa-lah-masalah dimuka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah. “Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang memba-kar apa saja. Termasuk kita sendiri!”

Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murobbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya. “Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah per-tanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

“Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa meni-lai bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!”, sahut sang murobbi.

“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itu-lah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”

Mulai saat ini berubahlah kawan.jangan hanya bisa menuntut pa yang bisa mere-ka berikan padamu tapi coba renungkan apa yang sudah bisa kita berikan pada dakwah I-ni?? kesalahan umat,jangan dijadikan cercaan,sindiran atau menjauhkannya.tapi rangkul-lah dan perbaikilah.ingat sejatinya bukan engkau yang bisa membuat orang lain berubah, tapi itu kehendak Allah swt yg memberinya hidayah.[Fahrinie]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites